JAKARTA - Hiro Yamamoto pandai berbahasa Indonesia, bahkan logatnya medok Jawa. Murid sekolah Jakarta Japan School berusia 11 tahun ini tidak terlalu percaya diri ketika pertama masuk arena panjat tebing. ”Ini susah ”ndak” yah?,” tanyanya dengan kacamata yang melo-rot turun di hidungnya, persis Nobita dari kartun Doraemon.
Hiro selalu bertanya-tanya tentang apa yang harus dilakukannya. Ia pertama kali mengikuti kegiatan panjat tebing. Hiro kerap menengok pada pelatihnya. Padahal dalam kegiatan panjat tebing ada istilah tiga tumpuan, artinya dari empat anggota tubuh kita harus tiga yang bertumpu dan satu mencari pijakan atau pegangan lain. Untuk melaksanakan tiga tumpuan ini perlu menatap ke arah dinding, bukan pada pelatih yang di belakangnya. Akibatnya tentu saja bisa ditebak, Hiro yang sudah tiga meter di atas lantai, jatuh dan bergantung di tali. ”Ini gimana ini yah?” tanyanya lagi dengan gaya Nobitanya.
Kejadian tersebut bagi Hiro dan sekitar 15 teman-temannya malah berakibat positif. Mereka jadi yakin bahwa tali pengaman yang terpasang itu bisa menahan tubuh mereka dan dengan bergantung mereka bisa diulur turun dan selamat kembali berdiri di lantai.
Setelah keberanian mereka muncul, maka mulailah anak-anak ini mengembangkan kreatifitas mereka. Berusaha menggerakkan kaki atau tangannya yang bebas untuk menggapai pegangan dan pijakan yang lebih tinggi.
”I’ve reach the top four times,” ujar Olivia Wagg, anak usia delapan tahun ini selalu melaporkan keberhasilannya, kali ini ia sudah memanjat sebanyak empat kali.
Pada awalnya Olivia Wagg tidak mau memanjat, dengan satu jarinya di mulut ia menggeleng setiap kali diajak oleh teman kelasnya Katherine, yang selalu bersemangat mencoba, bahkan sempat menguliahi temannya mengenai mudah dan menyenangkannya panjat tebing. Padahal Katherine pun baru pertama kali melakukan kegiatan tersebut. Dan ketika Katherine sudah memanjat setinggi tiga meter ia pun mogok dan ketakutan. Sedikit tarikan dengan tali ke atas dan dorongan semangat lewat rayuan dari Achmad Sabar (33) pelatih panjat tebing dari Bandung akhirnya Katherine pun berhasil.
Keberhasilannya dan sesumbarnya pada Olivia Wagg yang mendorong anak penakut itu menjadi berani memanjat, sehingga akhirnya menjadi presenter keberhasilan dirinya sendiri.
Melatih keberanian.
Kegiatan panjat tebing bagi anak usia dini diselenggarakan British International School di Pondok Aren, Tangerang, 13-24 Agustus lalu. Latihan ini untuk mengisi kegiatan petang yang merupakan pilihan dari berbagai kegiatan olahraga. Selain panjat tebing ada bola basket, sofbal, berenang, tenis, taekwondo dan kegiatan permainan dalam rangka mengisi liburan panjang tengah tahun.
Arena panjat ini dilengkapi dinding panjat setinggi sepuluh meter di dua sisi tembok. Dinding panjat buatan ini dilengkapi dengan dua teras yang bagian bawahnya menjadi dinding yang menjorok keluar yang menawarkan tingkat kesulitan pada jalur pemanjatan. Di atasnya para pelatih dan murid bisa berdiri dan melakukan kegiatan variasi dari pemanjatan yakni turun tali dan meluncur.
”Kami tidak mengajarkan agar mereka menjadi pemanjat tebing yang ulung,” tutur Sigit Prastowo (25) salah seorang pelatih panjat tebing usia dini ini.
Sigit menjelaskan bahwa tujuan pelatihan panjat tebing bagi anak-anak ini adalah untuk melatih gerak motorik anak-anak itu. Selain itu pada saat memanjat mereka akan berfikir untuk memecahkan masalah yang dijumpainya dengan menggerakkan tangan dan kakinya agar bisa terus memanjat. Pengembangan kreatifitas motorik ini yang bermanfaat bagi anak-anak.”Paling penting adalah memberikan keberanian kepada mereka,” jelas Sigit.
Menanggulangi ketakutan adalah langkah pertama untuk mengembangkan kemampuan diri. Setelah mereka percaya pada tali dan sistim pengaman yang digunakan maka mereka diberi permainan yang sepenuhnya bergantung pada peralatan. Satu tali direntang di ketinggian delapan meter dari lantai. Pada tali itu mereka harus bergelantung dan melayang menuju teras di dinding seberang.
Memelihara Ketakutan
Anak-anak dari berbagai bangsa berusia 8 hingga 13 tahun berbaris teratur. Masing-masing mengenakan sabuk pengaman, helm pengaman dan peralatan besi yang bergantung di pinggang mereka. Pada usia ini belum lagi muncul stereotipe kebangsaan. Anak Inggris yang bangsanya terkenal disiplin itu tetap juga berusaha menyerobot teman-teman di deretan depan. Anak-anak Jepang yang bangsanya dikenal selalu berbaris dengan tutup mulut menunggu gilirannya malah berceloteh riang. Mereka sedang menunggu giliran untuk memanjat dinding.
”Kenapa dia lebih dulu?,” gertak Alistair Smith (13 tahun) murid laki-laki kelas delapan. Penjelasan apa pun tetap saja akan menimbulkan argumentasi darinya. Anak-anak ini dideret berdasarkan kehadiran mereka di arena dinding panjat British International School. Penjelasan segamblang itu pun masih menimbulkan perdebatan akan siapa yang hadir lebih dahulu.
Alistair Smith berdiri lama di depan tali luncur ke bawah. Dua rekannya memegang tali penghambat peluncuran. Sudah lima menit Alistair diteriaki teman-temannya, ”jump, just jump!” Ia masih saja ragu walau semua anak menyuruhnya melompat. Setelah mengambil ancang-ancang berdiri, ia pun memutuskan untuk mengubah dan mengganti posisi awal lompatannya dengan duduk. Bolak-balik kejadian ini hingga semua teman-teman bersuara lebih keras lagi. Akhirnya Alistair lompat.
Setelah lompatan pertama yang makan waktu 10 menit, Alistair ketagihan. Ia terus melakukan kegiatan peluncuran ini. Kadang kala hanya dalam tiga menit ia telah menjalani jalur pemanjatan dan peluncuran yang panjangnya sekitar 20 meter itu. Kerap kali ia tergesa-gesa dan melupakan prinsip-prinsip keamanan yang selalu ditekankan para pelatihnya.
”Itu lah susahnya, setelah mereka berani, tugas kami lebih keras lagi untuk mengingatkan mereka agar memelihara ketakutannya,” kata Achmad Sabar. Rasa takut merupakan sarana ampuh untuk menjamin kese-la-matan pemanjat tebing. (SH/adiseno)
Hiro selalu bertanya-tanya tentang apa yang harus dilakukannya. Ia pertama kali mengikuti kegiatan panjat tebing. Hiro kerap menengok pada pelatihnya. Padahal dalam kegiatan panjat tebing ada istilah tiga tumpuan, artinya dari empat anggota tubuh kita harus tiga yang bertumpu dan satu mencari pijakan atau pegangan lain. Untuk melaksanakan tiga tumpuan ini perlu menatap ke arah dinding, bukan pada pelatih yang di belakangnya. Akibatnya tentu saja bisa ditebak, Hiro yang sudah tiga meter di atas lantai, jatuh dan bergantung di tali. ”Ini gimana ini yah?” tanyanya lagi dengan gaya Nobitanya.
Kejadian tersebut bagi Hiro dan sekitar 15 teman-temannya malah berakibat positif. Mereka jadi yakin bahwa tali pengaman yang terpasang itu bisa menahan tubuh mereka dan dengan bergantung mereka bisa diulur turun dan selamat kembali berdiri di lantai.
Setelah keberanian mereka muncul, maka mulailah anak-anak ini mengembangkan kreatifitas mereka. Berusaha menggerakkan kaki atau tangannya yang bebas untuk menggapai pegangan dan pijakan yang lebih tinggi.
”I’ve reach the top four times,” ujar Olivia Wagg, anak usia delapan tahun ini selalu melaporkan keberhasilannya, kali ini ia sudah memanjat sebanyak empat kali.
Pada awalnya Olivia Wagg tidak mau memanjat, dengan satu jarinya di mulut ia menggeleng setiap kali diajak oleh teman kelasnya Katherine, yang selalu bersemangat mencoba, bahkan sempat menguliahi temannya mengenai mudah dan menyenangkannya panjat tebing. Padahal Katherine pun baru pertama kali melakukan kegiatan tersebut. Dan ketika Katherine sudah memanjat setinggi tiga meter ia pun mogok dan ketakutan. Sedikit tarikan dengan tali ke atas dan dorongan semangat lewat rayuan dari Achmad Sabar (33) pelatih panjat tebing dari Bandung akhirnya Katherine pun berhasil.
Keberhasilannya dan sesumbarnya pada Olivia Wagg yang mendorong anak penakut itu menjadi berani memanjat, sehingga akhirnya menjadi presenter keberhasilan dirinya sendiri.
Melatih keberanian.
Kegiatan panjat tebing bagi anak usia dini diselenggarakan British International School di Pondok Aren, Tangerang, 13-24 Agustus lalu. Latihan ini untuk mengisi kegiatan petang yang merupakan pilihan dari berbagai kegiatan olahraga. Selain panjat tebing ada bola basket, sofbal, berenang, tenis, taekwondo dan kegiatan permainan dalam rangka mengisi liburan panjang tengah tahun.
Arena panjat ini dilengkapi dinding panjat setinggi sepuluh meter di dua sisi tembok. Dinding panjat buatan ini dilengkapi dengan dua teras yang bagian bawahnya menjadi dinding yang menjorok keluar yang menawarkan tingkat kesulitan pada jalur pemanjatan. Di atasnya para pelatih dan murid bisa berdiri dan melakukan kegiatan variasi dari pemanjatan yakni turun tali dan meluncur.
”Kami tidak mengajarkan agar mereka menjadi pemanjat tebing yang ulung,” tutur Sigit Prastowo (25) salah seorang pelatih panjat tebing usia dini ini.
Sigit menjelaskan bahwa tujuan pelatihan panjat tebing bagi anak-anak ini adalah untuk melatih gerak motorik anak-anak itu. Selain itu pada saat memanjat mereka akan berfikir untuk memecahkan masalah yang dijumpainya dengan menggerakkan tangan dan kakinya agar bisa terus memanjat. Pengembangan kreatifitas motorik ini yang bermanfaat bagi anak-anak.”Paling penting adalah memberikan keberanian kepada mereka,” jelas Sigit.
Menanggulangi ketakutan adalah langkah pertama untuk mengembangkan kemampuan diri. Setelah mereka percaya pada tali dan sistim pengaman yang digunakan maka mereka diberi permainan yang sepenuhnya bergantung pada peralatan. Satu tali direntang di ketinggian delapan meter dari lantai. Pada tali itu mereka harus bergelantung dan melayang menuju teras di dinding seberang.
Memelihara Ketakutan
Anak-anak dari berbagai bangsa berusia 8 hingga 13 tahun berbaris teratur. Masing-masing mengenakan sabuk pengaman, helm pengaman dan peralatan besi yang bergantung di pinggang mereka. Pada usia ini belum lagi muncul stereotipe kebangsaan. Anak Inggris yang bangsanya terkenal disiplin itu tetap juga berusaha menyerobot teman-teman di deretan depan. Anak-anak Jepang yang bangsanya dikenal selalu berbaris dengan tutup mulut menunggu gilirannya malah berceloteh riang. Mereka sedang menunggu giliran untuk memanjat dinding.
”Kenapa dia lebih dulu?,” gertak Alistair Smith (13 tahun) murid laki-laki kelas delapan. Penjelasan apa pun tetap saja akan menimbulkan argumentasi darinya. Anak-anak ini dideret berdasarkan kehadiran mereka di arena dinding panjat British International School. Penjelasan segamblang itu pun masih menimbulkan perdebatan akan siapa yang hadir lebih dahulu.
Alistair Smith berdiri lama di depan tali luncur ke bawah. Dua rekannya memegang tali penghambat peluncuran. Sudah lima menit Alistair diteriaki teman-temannya, ”jump, just jump!” Ia masih saja ragu walau semua anak menyuruhnya melompat. Setelah mengambil ancang-ancang berdiri, ia pun memutuskan untuk mengubah dan mengganti posisi awal lompatannya dengan duduk. Bolak-balik kejadian ini hingga semua teman-teman bersuara lebih keras lagi. Akhirnya Alistair lompat.
Setelah lompatan pertama yang makan waktu 10 menit, Alistair ketagihan. Ia terus melakukan kegiatan peluncuran ini. Kadang kala hanya dalam tiga menit ia telah menjalani jalur pemanjatan dan peluncuran yang panjangnya sekitar 20 meter itu. Kerap kali ia tergesa-gesa dan melupakan prinsip-prinsip keamanan yang selalu ditekankan para pelatihnya.
”Itu lah susahnya, setelah mereka berani, tugas kami lebih keras lagi untuk mengingatkan mereka agar memelihara ketakutannya,” kata Achmad Sabar. Rasa takut merupakan sarana ampuh untuk menjamin kese-la-matan pemanjat tebing. (SH/adiseno)