Kenal setelah Punya Istri
Liu Nyok Siong tak pernah berpikir akan menjadi lifter maupun pelatih angkat berat dan angkat besi. Terobsesi menjadi orang kuat. Itulah cita-cita sederhana yang akhirnya membawa pria yang dikenal sebagai Imron Rosadi tersebut hingga kini, selama 37 tahun, bekiprah di olahraga otot itu.
---
CUACA belum begitu terik saat wartawan koran ini datang ke kediaman sekaligus Padepokan Gajah Lampung milik Imron Rosadi Sabtu lalu (9/1) di Pringsewu, Lampung. Sekilas, dari luar, area seluas 2.456 meter persegi di Jalan A. Yani Nomor 62 itu tak terlihat sebagai kawah candradimuka bagi lifter angkat berat dan angkat besi.
Yang belum pernah ke tempat itu pasti menerka bahwa tempat tersebut hanyalah sebuah bengkel mobil. Sebab, di bagian depan tempat itu memang berdiri bengkel mobil milik Eddy Santoso, anak pertama Imron. Di sisi kiri berdiri kediaman Imron yang dari luar juga tak terlihat lebar. Di bagian tengah, di antara bengkel dan rumah itulah, terdapat akses masuk ke padepokan yang berdiri pada 1963 tersebut.
Duduk di kursi dikelilingi lifter-lifternya, senyum ramah langsung tersembul dari pria berusia 66 tahun itu ketika mengetahui kedatangan wartawan koran ini. Kaus oblong putih dipadu dengan celana pendek serta sandal seolah menjadi setelan wajib yang dikenakannya.
Imron yang di Pringsewu juga dikenal dengan nama Sengong juga menceritakan mengapa dirinya dipanggil dengan nama tersebut. "Orang tua saya sebenarnya memanggil dengan nama kecil Sekong. Tetapi, warga sekitar tempat tinggal tak terbiasa memanggil dengan nama itu. Sekong akhirnya dipanggil Sengong. Sebutan itu akhirnya menjadi kebiasaan," ungkap pria kelahiran 5 Maret 1944 tersebut.
Meski terlahir dari keluarga yang tak kekurangan, pendidikan Imron tak semulus yang dibayangkan. Jiwa bisnis yang mengalir dari orang tuanya justru lebih dominan dalam memengaruhi hidup Imron.
"Orang tua saya punya pabrik rokok. Kehidupan kami tak kekurangan waktu itu .Untuk sekolah, semua saya habiskan di Pringsewu. Pertama Tjung Hwa School (SD, Red), lalu SMP dan SMA Xaverius. Tapi, saya hanya sampai kelas II SMA karena akhirnya bisnis lebih menarik bagi saya," kenang anak keempat di antara delapan bersaudara pasangan Liu Ping Cau dan Hi A Lay tersebut.
Di dunia usaha, segala bidang yang berhubungan dengan jual beli sudah dicobanya. Mulai bisnis jual beli jam, radio, hingga sepeda motor dan mobil serta jual beli hasil bumi pernah dicicipi. Pada 1960-an, bisnis semacam itu masih menjanjikan. Imron pun membuka usahanya di Bandar Lampung.
Tahun-tahun itu pulalah yang membawa jalan hidupnya berubah selain mempersunting Wong Moy Jun, warga Bandar Lampung. Dia pun mulai kenal dengan angkat besi.
"Tak berapa jauh dari kediaman istri saya, ada warga yang bernama Khoe Hwie Liang. Dia merupakan warga Jogjakarta. Khoe Hwie di Lampung membuka perkebunan teh di Natar. Di sela-sela waktunya di rumah, dia berlatih angkat besi," terang Imron.
Nah, mulai saat itu Imron mulai tertarik dan mencoba mengangkat barbel. Kemampuan Imron mengundang kekaguman Khoe Hwie. Olehnya, Imron disuruh datang setiap hari untuk berlatih. Namun, kesibukannya sebagai pebisnis membuat Imron tak dapat menjalani latihan setiap hari.
Imron pun lebih memilih menekuni bisnis jual beli meski sesekali tetap berlatih. Bisnis Imron kemudian melebar sampai ke Jakarta. Dia pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Sambil menjalankan usahanya, pengemar seni lukis itu juga menumpahkan rasa penasarannya akan angkat besi.
"Pada 1960-an itu, sambil bisnis, saya sempatkan mampir ke Chi Ming Kay atau dikenal waktu itu dengan nama Chandra Naya. Tempat tersebut merupakan pusat latihan angkat besi di ibu kota," jelasnya.
Di tempat yang berada di Jalan Gajah Mada itu, Imron bertemu dengan Rudi Tilaar yang merupakan juara nasional dan Asia. Pria yang mendapatkan julukan Gajah Lampung itu akhirnya masuk ke pelatnas pada 1963. Di bawah gemblengan pelatih Lukianov dari Rusia, Imron berusaha tampil sebagai yang terbaik dan sempat terpilih terbaik pada 1965 di kelas 75 kg. Itu dipertahankannya hingga 1979.
Sayang, saat persiapan menuju SEA Games, angkatan besinya meleset dan menimpa tubuhnya. Tangan kirinya cedera. Karirnya sebagai lifter pun terhenti. Dia pun memulai karir sebagai pelatih.
Imron perlu waktu lama untuk mengumpulkan duit sebelum pada 1996 membangun pusat pelatihan angkat besi dan angkat berat yang diberi nama Padepokan Gajah Lampung di Pringsewu. Padepokan di atas tanah 2.500 meter persegi itu terletak sekitar 50 kilometer sebelah barat Bandar Lampung.
Kini padepokan yang dulu sederhana tersebut sudah kian megah. Pada 21 Februari 1997, Ketua PB Persatuan Angkat Besi, Binaraga, dan Angkat Berat Seluruh Indonesia (PABBSI) Soesilo Soedarman dan Pudjono Pranyoto, gubernur Lampung saat itu, meresmikan Padepokan Gajah Lampung. (agus suwignyo/jpnn/diq)
Liu Nyok Siong tak pernah berpikir akan menjadi lifter maupun pelatih angkat berat dan angkat besi. Terobsesi menjadi orang kuat. Itulah cita-cita sederhana yang akhirnya membawa pria yang dikenal sebagai Imron Rosadi tersebut hingga kini, selama 37 tahun, bekiprah di olahraga otot itu.
---
CUACA belum begitu terik saat wartawan koran ini datang ke kediaman sekaligus Padepokan Gajah Lampung milik Imron Rosadi Sabtu lalu (9/1) di Pringsewu, Lampung. Sekilas, dari luar, area seluas 2.456 meter persegi di Jalan A. Yani Nomor 62 itu tak terlihat sebagai kawah candradimuka bagi lifter angkat berat dan angkat besi.
Yang belum pernah ke tempat itu pasti menerka bahwa tempat tersebut hanyalah sebuah bengkel mobil. Sebab, di bagian depan tempat itu memang berdiri bengkel mobil milik Eddy Santoso, anak pertama Imron. Di sisi kiri berdiri kediaman Imron yang dari luar juga tak terlihat lebar. Di bagian tengah, di antara bengkel dan rumah itulah, terdapat akses masuk ke padepokan yang berdiri pada 1963 tersebut.
Duduk di kursi dikelilingi lifter-lifternya, senyum ramah langsung tersembul dari pria berusia 66 tahun itu ketika mengetahui kedatangan wartawan koran ini. Kaus oblong putih dipadu dengan celana pendek serta sandal seolah menjadi setelan wajib yang dikenakannya.
Imron yang di Pringsewu juga dikenal dengan nama Sengong juga menceritakan mengapa dirinya dipanggil dengan nama tersebut. "Orang tua saya sebenarnya memanggil dengan nama kecil Sekong. Tetapi, warga sekitar tempat tinggal tak terbiasa memanggil dengan nama itu. Sekong akhirnya dipanggil Sengong. Sebutan itu akhirnya menjadi kebiasaan," ungkap pria kelahiran 5 Maret 1944 tersebut.
Meski terlahir dari keluarga yang tak kekurangan, pendidikan Imron tak semulus yang dibayangkan. Jiwa bisnis yang mengalir dari orang tuanya justru lebih dominan dalam memengaruhi hidup Imron.
"Orang tua saya punya pabrik rokok. Kehidupan kami tak kekurangan waktu itu .Untuk sekolah, semua saya habiskan di Pringsewu. Pertama Tjung Hwa School (SD, Red), lalu SMP dan SMA Xaverius. Tapi, saya hanya sampai kelas II SMA karena akhirnya bisnis lebih menarik bagi saya," kenang anak keempat di antara delapan bersaudara pasangan Liu Ping Cau dan Hi A Lay tersebut.
Di dunia usaha, segala bidang yang berhubungan dengan jual beli sudah dicobanya. Mulai bisnis jual beli jam, radio, hingga sepeda motor dan mobil serta jual beli hasil bumi pernah dicicipi. Pada 1960-an, bisnis semacam itu masih menjanjikan. Imron pun membuka usahanya di Bandar Lampung.
Tahun-tahun itu pulalah yang membawa jalan hidupnya berubah selain mempersunting Wong Moy Jun, warga Bandar Lampung. Dia pun mulai kenal dengan angkat besi.
"Tak berapa jauh dari kediaman istri saya, ada warga yang bernama Khoe Hwie Liang. Dia merupakan warga Jogjakarta. Khoe Hwie di Lampung membuka perkebunan teh di Natar. Di sela-sela waktunya di rumah, dia berlatih angkat besi," terang Imron.
Nah, mulai saat itu Imron mulai tertarik dan mencoba mengangkat barbel. Kemampuan Imron mengundang kekaguman Khoe Hwie. Olehnya, Imron disuruh datang setiap hari untuk berlatih. Namun, kesibukannya sebagai pebisnis membuat Imron tak dapat menjalani latihan setiap hari.
Imron pun lebih memilih menekuni bisnis jual beli meski sesekali tetap berlatih. Bisnis Imron kemudian melebar sampai ke Jakarta. Dia pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Sambil menjalankan usahanya, pengemar seni lukis itu juga menumpahkan rasa penasarannya akan angkat besi.
"Pada 1960-an itu, sambil bisnis, saya sempatkan mampir ke Chi Ming Kay atau dikenal waktu itu dengan nama Chandra Naya. Tempat tersebut merupakan pusat latihan angkat besi di ibu kota," jelasnya.
Di tempat yang berada di Jalan Gajah Mada itu, Imron bertemu dengan Rudi Tilaar yang merupakan juara nasional dan Asia. Pria yang mendapatkan julukan Gajah Lampung itu akhirnya masuk ke pelatnas pada 1963. Di bawah gemblengan pelatih Lukianov dari Rusia, Imron berusaha tampil sebagai yang terbaik dan sempat terpilih terbaik pada 1965 di kelas 75 kg. Itu dipertahankannya hingga 1979.
Sayang, saat persiapan menuju SEA Games, angkatan besinya meleset dan menimpa tubuhnya. Tangan kirinya cedera. Karirnya sebagai lifter pun terhenti. Dia pun memulai karir sebagai pelatih.
Imron perlu waktu lama untuk mengumpulkan duit sebelum pada 1996 membangun pusat pelatihan angkat besi dan angkat berat yang diberi nama Padepokan Gajah Lampung di Pringsewu. Padepokan di atas tanah 2.500 meter persegi itu terletak sekitar 50 kilometer sebelah barat Bandar Lampung.
Kini padepokan yang dulu sederhana tersebut sudah kian megah. Pada 21 Februari 1997, Ketua PB Persatuan Angkat Besi, Binaraga, dan Angkat Berat Seluruh Indonesia (PABBSI) Soesilo Soedarman dan Pudjono Pranyoto, gubernur Lampung saat itu, meresmikan Padepokan Gajah Lampung. (agus suwignyo/jpnn/diq)