Dalam sejarah, manusia selalu berusaha mengalahkan alam untuk survive. Begitu juga dengan panjat tebing, yang lahir dari usaha manusia untuk bertahan hidup di alam bebas.
Mungkin kita sudah biasa atau justru ikut melakukan hobi wall climbing yang sekarang populer. Baik dalam bentuk lomba maupun sekadar mengisi waktu kosong, hobi ini memang cukup mengasyikkan. Apalagi kalau di sekolah kita disediakan papan panjat. Tidak heran kalau dari hobi ini sudah banyak teman-teman kita yang menjalani wall climbing bukan lagi sekadar hobi, tetapi sudah dalam tingkat yang lebih lanjut. Apalagi kalau bukan ikut dalam sebuah kejuaraan, malah menjuarainya.
Wall climbing tersebut (mungkin sudah banyak yang tahu ya) merupakan modifikasi dari hobi panjat tebing. Dari namanya sudah ketahuan kalau dua hal ini dibedakan dari medianya; yang satu berdasarkan papan buatan, sedangkan yang lain beneran tebing dari sebuah gunung atau bukit.
Nah, panjat tebing tersebut merupakan subbagian dari mountaineering (pendakian gunung), yaitu climbing yang dapat diartikan sebagai pendakian pada tebing-tebing batu atau dinding karang yang membutuhkan peralatan, teknik, dan metode-metode tertentu. Sebagai bagian dari mountaineering atau mendaki gunung, panjat tebing tidak dapat dipisahkan sejarahnya dari perjalanan panjat dan mendaki gunung.
Ribuan tahun
Kegiatan mendaki gunung ini mulai dilakukan manusia sejak berabad-abad yang lalu. Dimulai sejak manusia harus melintasi bukit-bukit atau pegunungan baik untuk melakukan peperangan atau pun ketika melakukan tuntutan hidupnya. Sejarah yang dapat diketahui dari hal ini adalah perjalanan Panglima Kerajaan Carthage, Hanibal, yang dilakukan di pegunungan Alpen di tahun 500 SM. Juga petualangan yang dilakukan Jenghis Khan yang melintasi pegunungan Karakoran dan Kaukasus untuk menaklukan Asia Tengah. Atau pendakian Mount Argulle oleh para tentara Perancis pada tahun 1442.
Dalam sejarah yang lebih maju, pendakian yang gemilang pertama kalinya dilakukan pada tahun 1786, ketika Dr Paccard berhasil mencapai puncak Mount Blanc (4087 m). Saat itu pendakian dan panjat tebing sudah menjadi hobi atau olahraga.
Dalam babak selanjutnya, puncak-puncak Alpen mulai dijajaki para penggemar olahraga alam bebas ini. Dan, memang puncak-puncak pegunungan Alpen hanya bisa dipuncaki dengan mempergunakan teknik-teknik memanjat tebing. Semakin populer ketika Sir Alfred Willis pada tahun 1854 berhasil mencapai puncak Watterhorn (di Swiss, 3708 m). Pendakian ini menjadi batu loncatan terbentuknya perkumpulan pendaki gunung tertua di dunia, British Alpine Club pada tahun 1857.
Sejak babak baru itu para pendaki semakin sering melakukan pendakian menuju puncak-puncak gunung yang lebih tinggi dan mempunyai tingkat tantangan yang lebih tinggi pula. Keberuntungan dan anugerah akhirnya datang pada Edmunt Hillary dan Tenzing Norgay dalam suatu ekspedisi. Ekspedisi yang dipimpin oleh John Hunt pada tahun 1953 tersebut berhasil memuncaki Everest, sebuah puncak yang menjadi impian para pendaki di dunia. Rangkaian-rangkaian ini merupakan titik temu bahwa panjat tebing merupakan bagian dari kegiatan mendaki gunung. Karena kegiatan memanjat tebing merupakan penunjang kegiatan mendaki gunung.
Olahraga berprestasi
Panjat tebing masuk ke Indonesia seiring dengan berkembangnya teknik mendaki. Harry Suliztiarto, seorang mahasiswa Seni Rupa ITB, memperkenalkan panjat tebing pada tahun 1976. Tepatnya ketika memanjat tebing-tebing alam Citatah. Peristiwa ini kemudian menjadi tonggak sejarah berdirinya organisasi kegiatan alam bebas yang mengkhususkan pada kegiatan memanjat, dengan nama Skygers Amateur Rock Climbing Group.
Pada tahun 1980 kegiatan panjat tebing mulai memasuki babak baru, di mana kegiatan ini bukan lagi bersifat petualangan tetapi telah menjadi olahraga prestasi. Perkembangan ini dimulai ketika diadakannya lomba panjat tebing alam di tebing pantai Jimbaran Bali pada tahun 1987.
Nah, di tahun 1988 diperkenalkan deh dinding panjat tebing buatan (wall climbing) yang langsung diperkenalkan oleh empat pemanjat dari Perancis. Sekaligus membentuk wadah sebagai tempat menyalurkan aspirasi dan hobi serta memanajemen kegiatan panjat tebing agar berjalan dengan baik dengan nama Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI). Pada tahun 1990, untuk pertama kalinya diadakan lomba panjat dinding buatan dengan tinggi papan lima belas meter yang menjadi awal sejarah dimulainya lomba panjat tebing buatan di Indonesia sampai saat ini.
Dasar-dasar panjat tebing
Namanya juga hobi panjat tebing, tentu saja tebing merupakan prasarana dalam kegiatan panjat tebing. Pengetahuan dasar tentang tebing yang harus diketahui antara lain: Bentuk tebing, bagian tebing yang dilihat secara keseluruhan mulai dasar sampai puncak. Bagian-bagiannya antara lain blank (bentuk tebing yang mempunyai sudut 90 derajat atau biasa disebut vertikal), overhang (bentuk tebing yang mempunyai sudut kemiringan antara 10-80 derajat), roof (bentuk tebing yang mempunyai sudut 0 atau 180 derajat, terletak menggantung), teras (bentuk tebing yang mempunyai sudut 0 atau 180 derajat, terletak menjorok ke dalam tebing), dan top (bagian tebing paling atas yang merupakan tujuan akhir suatu pemanjatan).
Lalu ada soal permukaan tebing yang merupakan bagian dari tebing yang nantinya akan digunakan untuk berpegang dan berpijak dalam suatu pemanjatan. Bagian ini di kategorikan menjadi tiga bagian: face (permukaan tebing yang mempunyai tonjolan), slap/friction (permukaan tebing yang tidak mempunyai tonjolan atau celah, rata, dan mulus tidak ada cacat batuan), dan fissure (permukaan tebing yang tidak mempunyai celah/crack).
Dengan mengenali pengenalan dasar atas medan yang hendak ditempuh, para pemanjat akan langsung bisa mempersiapkan teknik penaklukannya dan mengurangi tingkat kesulitannya.
Untuk memudahkan estimasi tingkat kesulitan tersebut, biasanya digunakan sistem desimal yang dimulai dari angka lima (mengacu pada standar tingkat kesulitan yang dibuat oleh Amerika).
Tingkat kesulitan 5,7-5,8 adalah tingkat kesulitan pemanjatan yang amat mudah. Lintasan pemanjatan untuk pegangan dan pijakan sangat banyak, besar, dan mudah didapat. Sudut kemiringan tebing belum mencapai 90 derajat.
Tingkat kesulitan 5,9. Tingkat kesulitan pemanjatan yang mulai agak sulit karena jarak antara pegangan dan pijakan mulai berjauhan tetapi masih banyak dan besar.
Tingkat kesulitan 5,10. Pada tingkat ini pemanjatan mulai sulit karena komposisi pegangan dan pijakan sudah bervariasi besar dan kecil. Jarak antar celah dan tonjolan mulai berjauhan. Terdapat dua tumpuan tangan dan satu tumpuan kaki, faktor keseimbangan mulai dibutuhkan.
Tingkat kesulitan 5,11. Tingkat kesulitan ini lebih sulit lagi karena letak antara pegangan yang satu dengan pegangan yang lainnya berjauhan dan kecil-kecil yang hanya bisa dipegang oleh beberapa jari saja, kedua tungkai melakukan gerakan melebar agar kaki dapat bertumpu pada tumpuan berikutnya. Keseimbangan tubuh sangat berpengaruh, bentuk tebing yang dilalui pada lintasan ini terdapat variasi antara tebing gantung dan atap.
Tingkat kesulitan 5,13-5,14. Jalur lintasan ini bervariasi antara tebing gantung dan atap dengan satu tumpuan kaki dan satu tumpuan tangan. Pemanjat mulai melakukan gerakan gesek (friction) dan bertumpu pada ujung jari (edginh) bahkan harus mengaitkan tumit pada pijakan (hooking).
Selain kriteria kesulitan ini, Negara lain juga membuat tingkat kesulitan sesuai dengan penilaian masing-masing, antara lain Jerman, Perancis, UIAA (Union Internationale des Association Alpines).
Etika panjat tebing
Seperti hobi atau olahraga lain, panjat tebing juga mempunyai etika atau aturan yang disepakati oleh para pelaku hobi ini. Ruang lingkup etika dalam panjat tebing terdiri dari empat hal.
Pertama, masalah teknik pembuatan jalur. Secara umum terdapat dua cara dalam pembuatan jalur, yaitu aliran tradisional dan aliran modern. Pembuatan jalur secara tradisional prinsipnya adalah membuat jalur sambil memanjat. Teknik ini cenderung bernilai petualangan karena lintasan yang dilewati sama sekali baru, tanpa pengalaman, tanpa dicoba terlebih dahulu. Sementara itu, pembuatan jalur secara modern terdiri dari dua cara. Pertama dengan menggunakan teknik tali tetap (fix rope technique). Pada teknik ini, pembuatan jalur dapat dilakukan dengan cara rappeling bolting atau ascending bolting. Terlebih dahulu pada fix rope yang telah terpasang, sedangkan cara kedua mirip dengan cara pertama, tetapi tidak dengan tali tetapi melainkan dengan menggunakan top rope.
Lalu ada tentang masalah penanaman jalur. Siapa yang berhak memberi nama pada suatu jalur tidak ada kesepakatan jelas yang mengaturnya. Di Indonesia nama jalur merupakan suatu kesepakatan dari seorang atau sekelompok pembuat jalur.
Masalah keaslian jalur juga masuk dalam poin etika panjat tebing. Masalah keaslian jalur ini biasanya dikaitkan dengan banyaknya jumlah pengaman tetap yang ada pada jalur tersebut. Misalkan satu jalur setinggi lima belas meter dapat dipanjat hanya dengan menggunakan tiga pengaman tetap, maka selanjutnya pemanjat yang kemudian memanjat harus tetap menggunakan tiga pengaman yang pertama, tanpa ditambah atau pun dikurangi, siapapun dia, karena ini secara harfiah telah menjadi jalur resmi dan menjadi paten untuk jalur tersebut.
Dan, yang terakhir soal pengubahan bentuk permukaan tebing. Untuk masalah yang satu ini, hampir semua pemanjat sepakat bahwa hal ini haram hukumnya untuk dilakukan meski untuk menambah kesulitan atau membuat jalur tersebut menjadi mudah. Tetapi, sebagian kecil kawasan pemanjatan menerima perubahan ini, namun hanya pada permukaan tebing yang tanpa cacat sama sekali agar kesinambungan jalur sebelumnya dan sesudah tetap terjaga.
Dengan mengetahui segi-segi dasar (baik soal teknik atau peraturan/etika), diharapkan seseorang mulai bisa mengenali hobi yang sekarang juga jadi cabang olahraga ini. Tentu saja juga diharapkan bisa menjadi salah satu aktivitas populer di kalangan anak muda.
KHUMAIDI TOHAR Keluarga Mahasiswa Pencinta Alam Eka Citra Universitas Negeri Jakarta
Sumber : www.kompas.com
Mungkin kita sudah biasa atau justru ikut melakukan hobi wall climbing yang sekarang populer. Baik dalam bentuk lomba maupun sekadar mengisi waktu kosong, hobi ini memang cukup mengasyikkan. Apalagi kalau di sekolah kita disediakan papan panjat. Tidak heran kalau dari hobi ini sudah banyak teman-teman kita yang menjalani wall climbing bukan lagi sekadar hobi, tetapi sudah dalam tingkat yang lebih lanjut. Apalagi kalau bukan ikut dalam sebuah kejuaraan, malah menjuarainya.
Wall climbing tersebut (mungkin sudah banyak yang tahu ya) merupakan modifikasi dari hobi panjat tebing. Dari namanya sudah ketahuan kalau dua hal ini dibedakan dari medianya; yang satu berdasarkan papan buatan, sedangkan yang lain beneran tebing dari sebuah gunung atau bukit.
Nah, panjat tebing tersebut merupakan subbagian dari mountaineering (pendakian gunung), yaitu climbing yang dapat diartikan sebagai pendakian pada tebing-tebing batu atau dinding karang yang membutuhkan peralatan, teknik, dan metode-metode tertentu. Sebagai bagian dari mountaineering atau mendaki gunung, panjat tebing tidak dapat dipisahkan sejarahnya dari perjalanan panjat dan mendaki gunung.
Ribuan tahun
Kegiatan mendaki gunung ini mulai dilakukan manusia sejak berabad-abad yang lalu. Dimulai sejak manusia harus melintasi bukit-bukit atau pegunungan baik untuk melakukan peperangan atau pun ketika melakukan tuntutan hidupnya. Sejarah yang dapat diketahui dari hal ini adalah perjalanan Panglima Kerajaan Carthage, Hanibal, yang dilakukan di pegunungan Alpen di tahun 500 SM. Juga petualangan yang dilakukan Jenghis Khan yang melintasi pegunungan Karakoran dan Kaukasus untuk menaklukan Asia Tengah. Atau pendakian Mount Argulle oleh para tentara Perancis pada tahun 1442.
Dalam sejarah yang lebih maju, pendakian yang gemilang pertama kalinya dilakukan pada tahun 1786, ketika Dr Paccard berhasil mencapai puncak Mount Blanc (4087 m). Saat itu pendakian dan panjat tebing sudah menjadi hobi atau olahraga.
Dalam babak selanjutnya, puncak-puncak Alpen mulai dijajaki para penggemar olahraga alam bebas ini. Dan, memang puncak-puncak pegunungan Alpen hanya bisa dipuncaki dengan mempergunakan teknik-teknik memanjat tebing. Semakin populer ketika Sir Alfred Willis pada tahun 1854 berhasil mencapai puncak Watterhorn (di Swiss, 3708 m). Pendakian ini menjadi batu loncatan terbentuknya perkumpulan pendaki gunung tertua di dunia, British Alpine Club pada tahun 1857.
Sejak babak baru itu para pendaki semakin sering melakukan pendakian menuju puncak-puncak gunung yang lebih tinggi dan mempunyai tingkat tantangan yang lebih tinggi pula. Keberuntungan dan anugerah akhirnya datang pada Edmunt Hillary dan Tenzing Norgay dalam suatu ekspedisi. Ekspedisi yang dipimpin oleh John Hunt pada tahun 1953 tersebut berhasil memuncaki Everest, sebuah puncak yang menjadi impian para pendaki di dunia. Rangkaian-rangkaian ini merupakan titik temu bahwa panjat tebing merupakan bagian dari kegiatan mendaki gunung. Karena kegiatan memanjat tebing merupakan penunjang kegiatan mendaki gunung.
Olahraga berprestasi
Panjat tebing masuk ke Indonesia seiring dengan berkembangnya teknik mendaki. Harry Suliztiarto, seorang mahasiswa Seni Rupa ITB, memperkenalkan panjat tebing pada tahun 1976. Tepatnya ketika memanjat tebing-tebing alam Citatah. Peristiwa ini kemudian menjadi tonggak sejarah berdirinya organisasi kegiatan alam bebas yang mengkhususkan pada kegiatan memanjat, dengan nama Skygers Amateur Rock Climbing Group.
Pada tahun 1980 kegiatan panjat tebing mulai memasuki babak baru, di mana kegiatan ini bukan lagi bersifat petualangan tetapi telah menjadi olahraga prestasi. Perkembangan ini dimulai ketika diadakannya lomba panjat tebing alam di tebing pantai Jimbaran Bali pada tahun 1987.
Nah, di tahun 1988 diperkenalkan deh dinding panjat tebing buatan (wall climbing) yang langsung diperkenalkan oleh empat pemanjat dari Perancis. Sekaligus membentuk wadah sebagai tempat menyalurkan aspirasi dan hobi serta memanajemen kegiatan panjat tebing agar berjalan dengan baik dengan nama Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI). Pada tahun 1990, untuk pertama kalinya diadakan lomba panjat dinding buatan dengan tinggi papan lima belas meter yang menjadi awal sejarah dimulainya lomba panjat tebing buatan di Indonesia sampai saat ini.
Dasar-dasar panjat tebing
Namanya juga hobi panjat tebing, tentu saja tebing merupakan prasarana dalam kegiatan panjat tebing. Pengetahuan dasar tentang tebing yang harus diketahui antara lain: Bentuk tebing, bagian tebing yang dilihat secara keseluruhan mulai dasar sampai puncak. Bagian-bagiannya antara lain blank (bentuk tebing yang mempunyai sudut 90 derajat atau biasa disebut vertikal), overhang (bentuk tebing yang mempunyai sudut kemiringan antara 10-80 derajat), roof (bentuk tebing yang mempunyai sudut 0 atau 180 derajat, terletak menggantung), teras (bentuk tebing yang mempunyai sudut 0 atau 180 derajat, terletak menjorok ke dalam tebing), dan top (bagian tebing paling atas yang merupakan tujuan akhir suatu pemanjatan).
Lalu ada soal permukaan tebing yang merupakan bagian dari tebing yang nantinya akan digunakan untuk berpegang dan berpijak dalam suatu pemanjatan. Bagian ini di kategorikan menjadi tiga bagian: face (permukaan tebing yang mempunyai tonjolan), slap/friction (permukaan tebing yang tidak mempunyai tonjolan atau celah, rata, dan mulus tidak ada cacat batuan), dan fissure (permukaan tebing yang tidak mempunyai celah/crack).
Dengan mengenali pengenalan dasar atas medan yang hendak ditempuh, para pemanjat akan langsung bisa mempersiapkan teknik penaklukannya dan mengurangi tingkat kesulitannya.
Untuk memudahkan estimasi tingkat kesulitan tersebut, biasanya digunakan sistem desimal yang dimulai dari angka lima (mengacu pada standar tingkat kesulitan yang dibuat oleh Amerika).
Tingkat kesulitan 5,7-5,8 adalah tingkat kesulitan pemanjatan yang amat mudah. Lintasan pemanjatan untuk pegangan dan pijakan sangat banyak, besar, dan mudah didapat. Sudut kemiringan tebing belum mencapai 90 derajat.
Tingkat kesulitan 5,9. Tingkat kesulitan pemanjatan yang mulai agak sulit karena jarak antara pegangan dan pijakan mulai berjauhan tetapi masih banyak dan besar.
Tingkat kesulitan 5,10. Pada tingkat ini pemanjatan mulai sulit karena komposisi pegangan dan pijakan sudah bervariasi besar dan kecil. Jarak antar celah dan tonjolan mulai berjauhan. Terdapat dua tumpuan tangan dan satu tumpuan kaki, faktor keseimbangan mulai dibutuhkan.
Tingkat kesulitan 5,11. Tingkat kesulitan ini lebih sulit lagi karena letak antara pegangan yang satu dengan pegangan yang lainnya berjauhan dan kecil-kecil yang hanya bisa dipegang oleh beberapa jari saja, kedua tungkai melakukan gerakan melebar agar kaki dapat bertumpu pada tumpuan berikutnya. Keseimbangan tubuh sangat berpengaruh, bentuk tebing yang dilalui pada lintasan ini terdapat variasi antara tebing gantung dan atap.
Tingkat kesulitan 5,13-5,14. Jalur lintasan ini bervariasi antara tebing gantung dan atap dengan satu tumpuan kaki dan satu tumpuan tangan. Pemanjat mulai melakukan gerakan gesek (friction) dan bertumpu pada ujung jari (edginh) bahkan harus mengaitkan tumit pada pijakan (hooking).
Selain kriteria kesulitan ini, Negara lain juga membuat tingkat kesulitan sesuai dengan penilaian masing-masing, antara lain Jerman, Perancis, UIAA (Union Internationale des Association Alpines).
Etika panjat tebing
Seperti hobi atau olahraga lain, panjat tebing juga mempunyai etika atau aturan yang disepakati oleh para pelaku hobi ini. Ruang lingkup etika dalam panjat tebing terdiri dari empat hal.
Pertama, masalah teknik pembuatan jalur. Secara umum terdapat dua cara dalam pembuatan jalur, yaitu aliran tradisional dan aliran modern. Pembuatan jalur secara tradisional prinsipnya adalah membuat jalur sambil memanjat. Teknik ini cenderung bernilai petualangan karena lintasan yang dilewati sama sekali baru, tanpa pengalaman, tanpa dicoba terlebih dahulu. Sementara itu, pembuatan jalur secara modern terdiri dari dua cara. Pertama dengan menggunakan teknik tali tetap (fix rope technique). Pada teknik ini, pembuatan jalur dapat dilakukan dengan cara rappeling bolting atau ascending bolting. Terlebih dahulu pada fix rope yang telah terpasang, sedangkan cara kedua mirip dengan cara pertama, tetapi tidak dengan tali tetapi melainkan dengan menggunakan top rope.
Lalu ada tentang masalah penanaman jalur. Siapa yang berhak memberi nama pada suatu jalur tidak ada kesepakatan jelas yang mengaturnya. Di Indonesia nama jalur merupakan suatu kesepakatan dari seorang atau sekelompok pembuat jalur.
Masalah keaslian jalur juga masuk dalam poin etika panjat tebing. Masalah keaslian jalur ini biasanya dikaitkan dengan banyaknya jumlah pengaman tetap yang ada pada jalur tersebut. Misalkan satu jalur setinggi lima belas meter dapat dipanjat hanya dengan menggunakan tiga pengaman tetap, maka selanjutnya pemanjat yang kemudian memanjat harus tetap menggunakan tiga pengaman yang pertama, tanpa ditambah atau pun dikurangi, siapapun dia, karena ini secara harfiah telah menjadi jalur resmi dan menjadi paten untuk jalur tersebut.
Dan, yang terakhir soal pengubahan bentuk permukaan tebing. Untuk masalah yang satu ini, hampir semua pemanjat sepakat bahwa hal ini haram hukumnya untuk dilakukan meski untuk menambah kesulitan atau membuat jalur tersebut menjadi mudah. Tetapi, sebagian kecil kawasan pemanjatan menerima perubahan ini, namun hanya pada permukaan tebing yang tanpa cacat sama sekali agar kesinambungan jalur sebelumnya dan sesudah tetap terjaga.
Dengan mengetahui segi-segi dasar (baik soal teknik atau peraturan/etika), diharapkan seseorang mulai bisa mengenali hobi yang sekarang juga jadi cabang olahraga ini. Tentu saja juga diharapkan bisa menjadi salah satu aktivitas populer di kalangan anak muda.
KHUMAIDI TOHAR Keluarga Mahasiswa Pencinta Alam Eka Citra Universitas Negeri Jakarta
Sumber : www.kompas.com